Berpatokan pada Tingkat Suku Bunga dan Inflasi
Tidak semua eksekutif mampu
mengelola portofolio pribadinya sendiri. Kalau tidak diserahkan ke manajer
investasi atau perencana keuangan, biasanya dipasrahkan ke sang istri. Namun,
keputusan seperti itu tidak berlaku bagi Paulus Wiranata. CEO Bank BTPN ini
lebih suka mengurus sendiri keranjang investasinya dengan mengandalkan analisis
dan ketajaman intuisinya.
Dalam berinvestasi, Paulus
selalu memegang prinsip: harus mengacu pada dua variabel ekonomi, yakni tingkat
bunga dan inflasi. Alasannya, inflasi itu membunuh pendapatan kita terkait
dengan turunnya daya beli. Itulah sebabnya, ia lebih percaya pada investasi di
properti. Dan jika tingkat bunga rendah serta inflasi rendah, iklim investasi
menjadi lebih menarik.
Selain itu, agar cash flow
lancar, Paulus punya tip khusus. “Jangan memakai future income untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Contohnya, untuk kebutuhan belanja hari ini menggunakan
uang bonus akhir tahun, ujar pria kelahiran Palembang, 25 September 1955, ini
mewanti-wanti. Menurutnya, andaikan kita punya kartu kredit, sebaiknya hanya
dipakai untuk alat pembayaran, bukan alat berutang. Ia lebih percaya, berapa
pun pendapatan kita, sebaiknya 20% disisihkan untuk ditabung.
Dari tabungan sedikit demi
sedikit, Paulus berhasil mewujudkannya dalam bentuk investasi properti. Rumah
pertama dibelinya setelah punya penghasilan tetap yang memadai. Sementara
jual-beli properti lebih serius dilakoni sejak tahun 2000-an. Bentuknya: rumah
dan tanah yang tersebar di Jakarta, Puncak dan Bandung. Sejauh ini, jenis
investasi rumahnya masih mendominasi dibandingkan tanah. “Kalau tanah, ada di
Jakarta dan Puncak yang nilainya kecil, total sekitar Rp 1 miliar, ujarnya.
Untuk mendapatkan aset-aset properti itu, ia tidak berburu sendirian, tapi
dibantu oleh kantor agen properti, baik untuk mencari objek properti maupun
calon pembeli aset propertinya.
Sejumlah rumah dan tanah yang
dibelinya itu ada yang ditempati sendiri, dijual lagi, disimpan, dan ada pula
yang disewakan. Jika rumah disewakan, tarifnya 5%-6% dari harga pasaran rumah.
Contohnya, untuk harga rumah senilai Rp 5 miliar, ia mematok tarif sewa Rp 50
juta/tahun. Tidak sulit baginya mencari penyewa karena ditawarkan via agen
properti. “Untuk memasarkan properti via iklan itu tidak efektif, karena calon
pembeli perlu dirayu, dimonitor dan di-follow up, ungkapnya memaparkan alasannya
tidak begitu berminat memasang iklan di media.
Paulus yakin, dalam waktu 3-5
tahun gain investasi properti akan melonjak dua kali lipat asalkan lokasinya
tepat. Artinya, daerah itu fasilitasnya bagus, umpamanya didukung supermarket,
sekolah, dan banyak akses jalan tembus. Tidak harus di kawasan perumahan yang
dikembangkan developer, di kampung-kampung Jakarta juga boleh. Ia pun sudah
membuktikan hasilnya. Salah satu contohnya, pada 1994 ia membeli rumah di
Kemang seharga Rp 650 juta, lalu pada 2002 dijual lagi seharga Rp 2,5 miliar.
Bagi sarjana akuntansi lulusan
Universitas Indonesia ini, kawasan Jakarta Selatan dan Utara potensi
pertumbuhan harganya lebih cepat. “Kalau di Jakarta Timur kurang bagus,
sedangkan di Jakarta Barat saya kurang punya informasi tentang properti, kata pria yang
menghabiskan waktunya dengan banyak tinggal di kawasan Muara Karang, Pluit,
Kelapa Gading dan Kemang ini.
Dalam membeli properti, selain
secara tunai, juga kredit. Jika pembelian dilakukan dengan cara kredit, ia
menyarankan sebaiknya porsinya fifty-fifty saja antara yang dibayar tunai dan
kredit. Maklumlah, suku bunga KPR cukup tinggi, rata-rata 12%/tahun. Dengan
membayar tunai 50% dan sisanya kredit dalam pembelian properti, diharapkan
tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran.
Paulus menyodorkan strategi
pembayaran lain. Kalau kita menguasai daerah tertentu, sebaiknya properti itu
dibayar uang mukanya saja saat pembelian pada peluncuran perdana, dan setelah
itu cepat-cepat dijual lagi untuk mendapatkan capital gain. Sebab, biasanya
harga properti akan naik setelah penawaran perdana. “Strategi itu pernah saya
lakukan waktu saya investasi properti di Hong Kong, ungkap Paulus yang pernah
tinggal di Hong Kong saat ditugaskan Bank Niaga di sana pada 1985-92.
Beberapa rumah dan apartemen di
Hong Kong dibeli Paulus untuk spekulasi cari untung dengan dijual lagi atau
disewakan. Di matanya, Hong Kong merupakan surganya investor properti, termasuk
orang asing. Sebab, peraturan di negara tersebut tidak mendiskriminasi orang
asing, sehingga orang asing tetap berhak mengantongi sertifikat hak milik.
Selain itu, pasar transaksinya cukup ramai dan peluang untungnya pun oke.
“Gampang kok jualnya lagi, hanya butuh waktu satu bulan untuk cari buyer, ungkapnya.
Berapa besar keuntungannya? Ia memberi contoh rumah yang dibeli seharga HKD$ 1
juta dijual kembali laku HK$ 3 juta setelah empat tahun disimpan. Ia mengaku
setidaknya tiga kali pernah memetik keuntungan transaksi properti di luar
negeri itu. Kunci suksesnya, lagi-lagi ia jitu memilih lokasi strategis.
Umpamanya, di Causeway Bay yang rumah atau apartemennya dekat lapangan olah
raga atau taman. “Boleh dibilang hari pertama tinggal di Hong Kong saya nggak
punya duit, ujar eksekutif yang juga pernah berkarier di Bank of New York ini.
Tentu saja, hasratnya berinvestasi di properti mesti ditahan dulu. Setelah
beberapa lama menetap di Hong Kong dan punya tabungan, barulah ia bermain
saham. Itu pun saham-saham unggulan yang dibelinya dengan pertimbangan
meminimalkan risiko. Selanjutnya, ia melirik ke properti kala modal telah
cukup.
Selain properti, keranjang
investasi Paulus juga diisi dengan saham. Ia menyadari, saham lebih berisiko
dibandingkan properti. Namun, sepanjang paham seluk-beluk pasar modal, ia
percaya lebih banyak untungnya ketimbang buntungnya. “Strategi saya biasanya
memilih saham-saham yang undervalue, tapi prospeknya bagus, ungkapnya sembari
mencontohkan pernah diuntungkan saat membeli saham Aneka Tambang di bawah harga
pasar.
“Tapi saat ini saya masih stop sementara main
saham karena harganya overvalue, kata
ayah tiga anak ini. Jika ada koreksi pasar, ia akan masuk kembali ke bursa
saham di Indonesia. Ia optimistis bursa kita akan terkoreksi setelah trennya
naik terus. Katakanlah, jika ada berita suku bunga akan naik dan semacamnya. “Bursa
harus terkoreksi, paling tidak 30%, ungkapnya meramal.
Saham-saham emiten yang
diliriknya dari sektor pertambangan, otomotif, perdagangan dan perbankan. Ia
bukan tipikal investor jangka pendek. “Semua investasi saham saya untuk jangka
panjang, ujarnya sembari menyebut saham Bumi Resources, Aneka Tambang dan
Astra International sebagai favoritnya. Adapun rata-rata gain saham yang dibukukan
sebesar 20%-25% per tahun. “Jika kita beli saham, harus berani keluar. Begitu
banyak rumor negatif, cepat-cepatlah keluar, ujarnya berbagi tip.
Reksa dana juga mewarnai
portofolio Paulus. Ia tergiur investasi reksa dana karena dikelola oleh
tenaga-tenaga profesional. Pilihannya jatuh pada reksa dana saham yang
rata-rata return-nya mencapai di atas 25% tiap tahun. Strategi memilih
produknya berdasarkan jajak rekam manajer investasi yang mengelolanya. “Sampai kini
saya sudah puas dengan strategi dan komposisi investasi saya. Jadi, belum ada
rencana mengubahnya, tutur pehobi olah raga ini.
Aidil Akbar Madjid:
Portofolio Investasinya Sudah
Ideal
Peta portofolio Paulus Wiranata
dinilai oleh Aidil Akbar Madjid cukup ideal. Di Amerika Serikat, gaya
portofolio ini dikenal dengan istilah baby boomer untuk orang-orang berusia di
atas 45-50 tahun yang porsinya mayoritas di properti. Wajarlah, karena waktu
itu harga properti belum semahal sekarang. “Komposisi 80% properti dan 20% di
reksa dana, deposito, saham dan cash sudah sangat bagus diversifikasinya, kata
Chairman International Association of Registered Financial Consultant itu.
Dengan usia Paulus yang 52
tahun, Akbar menyarankan agar ia mengalokasikan dana 5%-10% dalam bentuk cash.
Tujuannya, untuk dana jaga-jaga. Bisa juga porsi dana tunai ini dibelikan emas
batangan. Sebab, harga emas belakangan naiknya sangat tajam. Sebagai gambaran,
pada Juni 2007 harga emas Rp 191 ribu/gram, pada awal November atau dalam tempo
lima bulan sudah naik menjadi Rp 245 ribu/gram.
“Untuk investasi properti,
sebaiknya Pak Paulus lebih memilih rumah yang luasnya 400-500 m2 atau harganya
di bawah Rp 3 miliar agar lebih likuid, ujar penulis buku Rich Game, Cara Kaya
dengan Investasi itu. Sementara porsi investasi reksa dana saham Paulus
dianggap Akbar cukup, lantaran tujuannya sekadar untuk menyeimbangkan
portofolio.
Strategi Paulus yang cabut
sementara dari bursa saham karena masih overvalue diacungi jempol oleh Akbar. “Beliau jeli
sekali menilai bursa saham. Tidak hanya mengusai properti, tapi juga saham. Pak
Paulus berbeda dari CEO kebanyakan. Tidak hanya sibuk mengurusi perusahaan, tapi
juga cerdik mengelola portofolio pribadinya. Kayaknya beliau dari bawah memang
sudah jadi pemain properti dan saham, ujar pria berkacamata minus ini menduga.
Akbar yakin saat Paulus pensiun,
kualitas hidupnya tidak akan turun. “Tidak perlu masuk ke sektor riil atau waralaba.
Tidak ada urgensinya. Jika pensiun dari bank, paling akan jadi konsultan. Jika
semua aset propertinya dijual, saya rasa sudah lebih dari cukup untuk biaya pensiunnya.
Lagi pula, dengan properti, risiko lebih aman, katanya menjelaskan. Ia hanya
menasehati, Paulus perlu melengkapinya dengan asuransi kesehatan dan penyakit
kritis. Sebab, jika pensiun, asuransi kesehatan Paulus tidak dikover perusahaan
lagi dan di usia lebih dari 50 tahun juga rawan diserang penyakit. Juga, perlu
mempersiapkan surat wasiat untuk warisan keluarganya.
Opini :
Dalam
berinvestasi memang dapat berpatokan
pada Tingkat Suku Bunga dan Inflasi, dan hasil dari berinvestasi akan mendapatkan berbagai
resiko dan keuntungan. Harus pandai-pandai dalam berinvestasi untuk mencari
peluang agar hasil yang didapat sesuai dengan keinginan dan perencanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar