Kamis, 18 April 2013

Tulisan 8 Akuntansi Internasional


Berpatokan pada Tingkat Suku Bunga dan Inflasi

 

Tidak semua eksekutif mampu mengelola portofolio pribadinya sendiri. Kalau tidak diserahkan ke manajer investasi atau perencana keuangan, biasanya dipasrahkan ke sang istri. Namun, keputusan seperti itu tidak berlaku bagi Paulus Wiranata. CEO Bank BTPN ini lebih suka mengurus sendiri keranjang investasinya dengan mengandalkan analisis dan ketajaman intuisinya.
Dalam berinvestasi, Paulus selalu memegang prinsip: harus mengacu pada dua variabel ekonomi, yakni tingkat bunga dan inflasi. Alasannya, inflasi itu membunuh pendapatan kita terkait dengan turunnya daya beli. Itulah sebabnya, ia lebih percaya pada investasi di properti. Dan jika tingkat bunga rendah serta inflasi rendah, iklim investasi menjadi lebih menarik.
Selain itu, agar cash flow lancar, Paulus punya tip khusus. “Jangan memakai future income untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Contohnya, untuk kebutuhan belanja hari ini menggunakan uang bonus akhir tahun, ujar pria kelahiran Palembang, 25 September 1955, ini mewanti-wanti. Menurutnya, andaikan kita punya kartu kredit, sebaiknya hanya dipakai untuk alat pembayaran, bukan alat berutang. Ia lebih percaya, berapa pun pendapatan kita, sebaiknya 20% disisihkan untuk ditabung.
Dari tabungan sedikit demi sedikit, Paulus berhasil mewujudkannya dalam bentuk investasi properti. Rumah pertama dibelinya setelah punya penghasilan tetap yang memadai. Sementara jual-beli properti lebih serius dilakoni sejak tahun 2000-an. Bentuknya: rumah dan tanah yang tersebar di Jakarta, Puncak dan Bandung. Sejauh ini, jenis investasi rumahnya masih mendominasi dibandingkan tanah. “Kalau tanah, ada di Jakarta dan Puncak yang nilainya kecil, total sekitar Rp 1 miliar, ujarnya. Untuk mendapatkan aset-aset properti itu, ia tidak berburu sendirian, tapi dibantu oleh kantor agen properti, baik untuk mencari objek properti maupun calon pembeli aset propertinya.
Sejumlah rumah dan tanah yang dibelinya itu ada yang ditempati sendiri, dijual lagi, disimpan, dan ada pula yang disewakan. Jika rumah disewakan, tarifnya 5%-6% dari harga pasaran rumah. Contohnya, untuk harga rumah senilai Rp 5 miliar, ia mematok tarif sewa Rp 50 juta/tahun. Tidak sulit baginya mencari penyewa karena ditawarkan via agen properti. “Untuk memasarkan properti via iklan itu tidak efektif, karena calon pembeli perlu dirayu, dimonitor dan di-follow up, ungkapnya memaparkan alasannya tidak begitu berminat memasang iklan di media.
Paulus yakin, dalam waktu 3-5 tahun gain investasi properti akan melonjak dua kali lipat asalkan lokasinya tepat. Artinya, daerah itu fasilitasnya bagus, umpamanya didukung supermarket, sekolah, dan banyak akses jalan tembus. Tidak harus di kawasan perumahan yang dikembangkan developer, di kampung-kampung Jakarta juga boleh. Ia pun sudah membuktikan hasilnya. Salah satu contohnya, pada 1994 ia membeli rumah di Kemang seharga Rp 650 juta, lalu pada 2002 dijual lagi seharga Rp 2,5 miliar.
Bagi sarjana akuntansi lulusan Universitas Indonesia ini, kawasan Jakarta Selatan dan Utara potensi pertumbuhan harganya lebih cepat. “Kalau di Jakarta Timur kurang bagus, sedangkan di Jakarta Barat saya kurang punya informasi tentang properti, kata pria yang menghabiskan waktunya dengan banyak tinggal di kawasan Muara Karang, Pluit, Kelapa Gading dan Kemang ini.
Dalam membeli properti, selain secara tunai, juga kredit. Jika pembelian dilakukan dengan cara kredit, ia menyarankan sebaiknya porsinya fifty-fifty saja antara yang dibayar tunai dan kredit. Maklumlah, suku bunga KPR cukup tinggi, rata-rata 12%/tahun. Dengan membayar tunai 50% dan sisanya kredit dalam pembelian properti, diharapkan tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran.
Paulus menyodorkan strategi pembayaran lain. Kalau kita menguasai daerah tertentu, sebaiknya properti itu dibayar uang mukanya saja saat pembelian pada peluncuran perdana, dan setelah itu cepat-cepat dijual lagi untuk mendapatkan capital gain. Sebab, biasanya harga properti akan naik setelah penawaran perdana. “Strategi itu pernah saya lakukan waktu saya investasi properti di Hong Kong, ungkap Paulus yang pernah tinggal di Hong Kong saat ditugaskan Bank Niaga di sana pada 1985-92.
Beberapa rumah dan apartemen di Hong Kong dibeli Paulus untuk spekulasi cari untung dengan dijual lagi atau disewakan. Di matanya, Hong Kong merupakan surganya investor properti, termasuk orang asing. Sebab, peraturan di negara tersebut tidak mendiskriminasi orang asing, sehingga orang asing tetap berhak mengantongi sertifikat hak milik. Selain itu, pasar transaksinya cukup ramai dan peluang untungnya pun oke. “Gampang kok jualnya lagi, hanya butuh waktu satu bulan untuk cari buyer, ungkapnya. Berapa besar keuntungannya? Ia memberi contoh rumah yang dibeli seharga HKD$ 1 juta dijual kembali laku HK$ 3 juta setelah empat tahun disimpan. Ia mengaku setidaknya tiga kali pernah memetik keuntungan transaksi properti di luar negeri itu. Kunci suksesnya, lagi-lagi ia jitu memilih lokasi strategis. Umpamanya, di Causeway Bay yang rumah atau apartemennya dekat lapangan olah raga atau taman. “Boleh dibilang hari pertama tinggal di Hong Kong saya nggak punya duit, ujar eksekutif yang juga pernah berkarier di Bank of New York ini. Tentu saja, hasratnya berinvestasi di properti mesti ditahan dulu. Setelah beberapa lama menetap di Hong Kong dan punya tabungan, barulah ia bermain saham. Itu pun saham-saham unggulan yang dibelinya dengan pertimbangan meminimalkan risiko. Selanjutnya, ia melirik ke properti kala modal telah cukup.
Selain properti, keranjang investasi Paulus juga diisi dengan saham. Ia menyadari, saham lebih berisiko dibandingkan properti. Namun, sepanjang paham seluk-beluk pasar modal, ia percaya lebih banyak untungnya ketimbang buntungnya. “Strategi saya biasanya memilih saham-saham yang undervalue, tapi prospeknya bagus, ungkapnya sembari mencontohkan pernah diuntungkan saat membeli saham Aneka Tambang di bawah harga pasar.
 “Tapi saat ini saya masih stop sementara main saham karena harganya overvalue,  kata ayah tiga anak ini. Jika ada koreksi pasar, ia akan masuk kembali ke bursa saham di Indonesia. Ia optimistis bursa kita akan terkoreksi setelah trennya naik terus. Katakanlah, jika ada berita suku bunga akan naik dan semacamnya. “Bursa harus terkoreksi, paling tidak 30%, ungkapnya meramal.
Saham-saham emiten yang diliriknya dari sektor pertambangan, otomotif, perdagangan dan perbankan. Ia bukan tipikal investor jangka pendek. “Semua investasi saham saya untuk jangka panjang, ujarnya sembari menyebut saham Bumi Resources, Aneka Tambang dan Astra International sebagai favoritnya. Adapun rata-rata gain saham yang dibukukan sebesar 20%-25% per tahun. “Jika kita beli saham, harus berani keluar. Begitu banyak rumor negatif, cepat-cepatlah keluar, ujarnya berbagi tip.
Reksa dana juga mewarnai portofolio Paulus. Ia tergiur investasi reksa dana karena dikelola oleh tenaga-tenaga profesional. Pilihannya jatuh pada reksa dana saham yang rata-rata return-nya mencapai di atas 25% tiap tahun. Strategi memilih produknya berdasarkan jajak rekam manajer investasi yang mengelolanya. “Sampai kini saya sudah puas dengan strategi dan komposisi investasi saya. Jadi, belum ada rencana mengubahnya, tutur pehobi olah raga ini.
Aidil Akbar Madjid:
Portofolio Investasinya Sudah Ideal
Peta portofolio Paulus Wiranata dinilai oleh Aidil Akbar Madjid cukup ideal. Di Amerika Serikat, gaya portofolio ini dikenal dengan istilah baby boomer untuk orang-orang berusia di atas 45-50 tahun yang porsinya mayoritas di properti. Wajarlah, karena waktu itu harga properti belum semahal sekarang. “Komposisi 80% properti dan 20% di reksa dana, deposito, saham dan cash sudah sangat bagus diversifikasinya, kata Chairman International Association of Registered Financial Consultant itu.
Dengan usia Paulus yang 52 tahun, Akbar menyarankan agar ia mengalokasikan dana 5%-10% dalam bentuk cash. Tujuannya, untuk dana jaga-jaga. Bisa juga porsi dana tunai ini dibelikan emas batangan. Sebab, harga emas belakangan naiknya sangat tajam. Sebagai gambaran, pada Juni 2007 harga emas Rp 191 ribu/gram, pada awal November atau dalam tempo lima bulan sudah naik menjadi Rp 245 ribu/gram.
“Untuk investasi properti, sebaiknya Pak Paulus lebih memilih rumah yang luasnya 400-500 m2 atau harganya di bawah Rp 3 miliar agar lebih likuid, ujar penulis buku Rich Game, Cara Kaya dengan Investasi itu. Sementara porsi investasi reksa dana saham Paulus dianggap Akbar cukup, lantaran tujuannya sekadar untuk menyeimbangkan portofolio.
Strategi Paulus yang cabut sementara dari bursa saham karena masih overvalue diacungi jempol oleh Akbar. “Beliau jeli sekali menilai bursa saham. Tidak hanya mengusai properti, tapi juga saham. Pak Paulus berbeda dari CEO kebanyakan. Tidak hanya sibuk mengurusi perusahaan, tapi juga cerdik mengelola portofolio pribadinya. Kayaknya beliau dari bawah memang sudah jadi pemain properti dan saham, ujar pria berkacamata minus ini menduga.
Akbar yakin saat Paulus pensiun, kualitas hidupnya tidak akan turun. “Tidak perlu masuk ke sektor riil atau waralaba. Tidak ada urgensinya. Jika pensiun dari bank, paling akan jadi konsultan. Jika semua aset propertinya dijual, saya rasa sudah lebih dari cukup untuk biaya pensiunnya. Lagi pula, dengan properti, risiko lebih aman, katanya menjelaskan. Ia hanya menasehati, Paulus perlu melengkapinya dengan asuransi kesehatan dan penyakit kritis. Sebab, jika pensiun, asuransi kesehatan Paulus tidak dikover perusahaan lagi dan di usia lebih dari 50 tahun juga rawan diserang penyakit. Juga, perlu mempersiapkan surat wasiat untuk warisan keluarganya.

Opini :
                Dalam berinvestasi memang dapat berpatokan pada Tingkat Suku Bunga dan Inflasi, dan hasil dari berinvestasi akan mendapatkan berbagai resiko dan keuntungan. Harus pandai-pandai dalam berinvestasi untuk mencari peluang agar hasil yang didapat sesuai dengan keinginan dan perencanaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar