Kamis, 01 November 2012

Tulisan 1 "Artikel GCG, CSR dan IFRS"

Artikel GCG, CSR dan IFRS

·         Artikel Good Corporare Governance (GCG)

Survei GCG Mendorong Perusahaan Meningkatkan Praktik Corporate Governance

Posted on December 19, 2011 by mada
Untuk yang ke-9 kalinya SWA bekerja sama dengan The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) menggelar survei Corporate Governance Perception Index (CGPI). Tahun ini sigi tersebut mengangkat tema “GCG dalam Perspektif Etika”.
Bagaimana tanggapan pakar terhadap hasil survei yang dilakukan IICG terhadap penerapan Good Corporate Governance di beberapa perusahaan di Indonesia, akan disajikan dalam petikan wawancara berikut ini dengan Saguh Pangaribowo, Senior Manager Advisory Services Ernst & Young.
Apa pelajaran menarik yang bisa diambil dari fakta survei itu?
Dengan adanya survei tahunan ini, salah satu manfaatnya adalah dapat memotivasi perusahaan-perusahaan yang disurvei untuk meningkatkan praktik corporate governance ke arah yang lebih baik. Jika dibandingkan tahun lalu, tahun ini terdapat beberapa perusahaan yang skornya meningkat. Hal lain yang menarik adalah di samping terdapat peserta baru, ada juga peserta tahun lalu yang tidak berpartisipasi lagi di tahun ini. Mungkin sebaiknya dicari tahu mengapa peserta tersebut tidak ikut berpartisipasi.
Bagaimana pendapat Anda tentang survei ini?
Survei corporate governance ini merupakan salah satu sarana untuk mengetahui kondisi corporate governance suatu perusahaan dibandingkan secara relatif dengan perusahaan lainnya. Survei ini dapat menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui gambaran umum praktik CG berdasarkan standar kriteria tertentu. Akan lebih baik, di samping berpartisipasi pada survei ini, perusahaan juga menggunakan sarana evaluasi CG lainnya, mengingat masing-masing perusahaan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, misalnya ada yang highly regulated, ada yang dual atau multiple listing, ada yang dimiliki oleh satu atau lebih shareholder asing yang lebih familiar dengan single-tier governance system dibandingkan dengan two-tier governance system. Dengan demikian, diharapkan dapat teridentifikasi areas for improvement dan solusi yang lebih spesifik untuk mencapai kondisi GCG.
Apa saja kelemahannya? Lalu, seperti apa mustinya survey GCG yang baik itu?
Disebutkan bahwa penilaian meliputi 13 aspek yaitu komitmen,transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, keadilan, kompetensi, kepemimpinan, kemampuan bekerja sama, visi misi & tata nilai, strategi kebijakan, etika, dan iklim etikal. Tentunya pengguna hasil survei ini bisa saja berharap ada informasi lebih lanjut mengenai skor untuk tiap-tiap aspek tersebut dari perusahaan yang dinilai, namun ternyata bobot dan pemberian nilai menggunakan kriteria lainnya: yaitu self assessment, kelengkapan dokumen, paparan makalah dan observasi.
Agar konsisten, sebaiknya pembagian kategori skor penilaiannya mengikuti ke 13 aspek di atas. Jika ini bisa dilakukan, maka simpulan akhirnya pun akan lebih berhubungan dan relevan dengan konsep corporate governance, dibandingkan dengan 4 kriteria yang disebutkan terakhir.
Di samping itu, survei CG ini sebaiknya juga dapat menyoroti dan memotret hal-hal tertentu yang lebih konkrit seperti ada tidaknya Komite-komite Komisaris yang dibentuk dan tetap dipertahankan meskipun tidak wajib dan mungkin saja tidak diperlukan untuk ada setiap tahunnya. Termasuk proses pemilihan dan masa tugas dari anggota komite tersebut.
Sebenarnya bagaimana praktek etika GCG di perusahaan-perusahaan Indonesia? Biasanya contoh pelanggaran dalam hal apa?
Perlu observasi yang lebih komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui praktik etika bisnis di perusahaan-perusahaan di Indonesia dan contoh-contoh pelanggarannya, namun demikian berdasarkan pengalaman melakukan assessment dan asistensi CG, agar tercipta pengelolaan perusahaan yang beretika sesuai konsep GCG, maka perlu adanya desain / rancangan dan implementasi operasional yang efektif untuk hal-hal yang terkait dengan etika perusahaan. Dari sisi desain, perusahaan dapat membangunnya melalui hal-hal berikut:
Penyusunan pedoman etika (istilah yang sering digunakan adalah code of conduct atau code of ethics).
Penyusunan kebijakan dan prosedur sebagai penjabaran lebih lanjut dari pedoman etika perusahaan.
Penyusunan whistle blower program.

Sedangkan dari sisi operasionalnya, hal-hal yang sebaiknya dilakukan adalah:
Direksi dan Komisaris memberikan “tone at the top” dan “lead by example” kepada seluruh karyawan mengenai pentingnya menjalankan bisnis yang beretika. Menciptakan mekanisme tahunan penandatangan pernyataan telah memahami isi dan akan mematuhi code of conduct dari setiap insan perusahaan. Terdapat mekanisme audit untuk memonitor kepatuhan terhadap code of conduct. Termasuk menindaklanjuti/menginvestigasi pengaduan yang disampaikan melalui whistle blower program.
Apa yang sebaiknya dilakukan perusahaan Indonesia untuk meningkatkan level kualitas GCG-nya?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, sepertinya perlu diluruskan dulu pertanyaannya. Sebaiknya pertanyaannya adalah bagaimana meningkatkan kualitas CG (tanpa huruf G di depan), karena jika sudah ada huruf G di depannya, artinya sudah “Good”, jadi by definition, seharusnya tidak perlu lagi ditingkatkan kualitasnya. Di luar negeri, istilah yang digunakan dalam konteks pedoman dan evaluasi/survei adalah pedoman CG (seperti code of CG atau CG Guideline) dan evaluasi/survei CG. Jadi bukan pedoman GCG atau evaluasi GCG.
Kembali ke pertanyaannya, yaitu bagaimana meningkatkan kualitas CG perusahaan-perusahaan di Indonesia, pendapat saya adalah dikembalikan kepada siapa sebenarnya yang paling dapat mempengaruhi praktik CG itu sendiri di dalam perusahaan, yaitu tidak lain adalah ketiga organ CG yaitu Pemegang Saham (melalui mekanisme RUPS), Dewan Komisaris dan Direksi. Harus ada interaksi yang efektif di antara ketiga organ ini. Direksi merumuskan strategi; membahasnya dengan Dewan Komisaris, dan melaksanakannya; kemudian membangun pengendalian internal yang efektif untuk mencapai tujuan operasional, kepatuhan dan kehandalan pelaporan keuangan; menjaga tata nilai, budaya peduli terhadap kinerja, manajemen risiko, pengendalian internal dan etika perusahaan. Dewan Komisaris kemudian secara periodik menjalankan fungsi oversight dan pemberian advice terhadap hal-hal yang dilakukan dan akan dilakukan Direksi. Agar kualitas CG meningkat, sebaiknya secara periodik tedapat mekanisme evaluasi praktik CG yang dijalankan perusahaan, secara self assessment maupun dibantu pihak eksternal, dengan penekanan pada faktor-faktor kualitatif. Kemudian menindaklanjuti hasil dari assessment tersebut. (EVA)
Sumber :


·          Artikel Corporate Social Responsibility (CSR)

CSR Tidak Sekadar Charity, TBIG Raih Sabre Awards 2012

Posted on September 29, 2012 by Eva Martha Rahayu
PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) meraih penghargaan Gold di ajang insan Public Relations Asia Pacific, Sabre Awards 2012 di Hong Kong. Apresiasi ini untuk kategori Telecommunications Corporate Social Responsibility (CSR) pada sektor industri telekomunikasi melalui program CSR TBIG di bidang pendidikan, yakni “Aku Bisa” (“I Can”). Penghargaan diterima oleh Dandan Hamdani,PR Consultant dari QYVision PR, partner dalam pelaksanaan program komunikasi TBIG.
TBIG berhasil mengalahkan dua minasi kategori CSR sektor telekomunikasi lainnya se-Asia Pasifik, yakni China Mobile yang menggandeng PR Consultant Hoffman PR Worldwide dan SmarTone Hong Kong dengan Ogilvy Worldwide.  TBIG bersama dengan PR Consultant-nya Qyvision PR dari Indonesia.
Penilaian ajang Sabre Awards 2012 ini meliputi aspek-aspek seperti keunikan program, rencana kerja yang tepat sasaran dan kesesuaian dengan target audience, implementasi program, publikasi di media massa maupun sosial media, serta dampak dari program tersebut terhadap masyarakat.
Herman Setya Budi, Presiden Direktur TBIG, mengatakan, penghargaan ini merupakan langkah awal serta menjadi motivasi untuk terus berupaya  mengimplementasikan program CSR yang sustainable dan berdampak kepada masyarakat secara lebih variatif dan menjangkau wilayah-wilayah di Indonesia yang memang membutuhkan. “Ini adalah bagian dari komitmen TBIG dalam upaya berkontribusi membangun kualitas hidup masyarakat yang lebih baik,” tegasya.
Wiyanna, Corporate Communications TBIG, menambahkan, penghargaan ini merupakan tantangan besar, karena TBIG harus bisa mempertahankan dan meningkatkan apa yang sudah dicapai melalui program-program pendidikan yang lebih baik dan berdampak signifikan bagi masyarakat serta dapat membantu pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
“Program komunikasi CSR TBIG dinilai unik karena program CSR yang dilakukan tidak sekadar charity namun merupakan program yang berkelanjutan sehingga mampu memberikan dampak serta motivasi kepada anak-anak jalanan agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan melalui Rumah Belajar TBIG dan buku Aku Bisa,” tambah Dandan Hamdani, Business Development Director Qyvision PR.
Asia-Pacific Sabre Awards merupakan ajang kompetisi program-program public relations se-Asia Pasifik yang dilakukan oleh suatu perusahaan bersama konsultan hubungan masyarakat untuk dipilih program kampanye public relations terbaik di dunia. Ajang ini dikuti oleh 1,200 PR program terbaik di seluruh negara di Asia Pasifik termasuk Cina, India, Jepang, New Zealand/Australia. Negara-negara yang masuk nominasi ini adalah Indonesia, Singapura, Hong Kong, Cina, New Zealand, Australia, India, Jepang, Filipina, Malaysia dan Thailand.  Sedangkan perusahaan yang masuk nominasi sebanyak 160 perusahaan dan 75 agensi PR, baik independen maupun perusahaan PR multinasional di seluruh kawasan Asia Pasifik.
Sumber :




·         Artikel International Financial Reporting Standards (IFRS)

Perusahaan Indonesia Diminta Standarisasi Laporan Keuangan Internasional

Posted on June 22, 2010 by Army Meidinasari
Perusahaan di Indonesia diharapkan dapat segera menerapkan standar internasional pelaporan keuangan (International Financial Reporting Standards/IFRS). Dengan demikian, Indonesia akan mendapatkan manfaat dari meningkatnya kredibilitas pasar modal di mata investor global.
Menurut anggota Dewan Standar Akutansi Internasional (International Accounting Standards Board/IASB), Patrick Finnegan, dengan mengimplementasikan IFRS perusahaan akan menikmati biaya modal yang lebih rendah, konsolidasi yang lebih mudah dan sistem teknologi informasi yang terpadu.
IASB sendiri merupakan lembaga penentu standar sebagai bagian dari Yayasan Komite Standar Akuntansi Internasional (International Accounting Standards Committee/IASC Foundation). Lembaga ini bertanggung jawab untuk mengembangkan standar pelaporan keuangan internasional.
Anggota Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Endang P Sulaksono pun mengungkapkan, karena adanya perubahan mendasar dalam konvergensi ke IFRS, maka perlu suatu panduan bagi perusahaan dalam melakukan penyelarasan standar ini. “Untuk itu, perlu ada pembicaraan bersama antara Asosiasi, IAI dan Regulator,” ujarnya hari ini (22/6) di Jakarta.
Ia pun menambahkan bahwa dengan adanya konvergensi IFRS ini diharapkan akan terjadi peningkatan kegiatan investasi secara global. Selain itu, dapat menurunkan biaya modal dengan membuka peluang melalui pasar modal secara global. “Tentunya juga menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan dan peningkatan transparansi perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan,” imbuhnya.
Rencana mengadopsi IFRS ini sejalan dengan gerakan global oleh lebih dari 100 negara-negara di dunia yang mulai mengimplementasikan IFRS dan menggunakan satu ‘bahasa akuntansi’ di dunia. Pada Desember 2008, IAI secara resmi mengumumkan rencana Indonesia untuk merevisi Pernyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) dengan mengadopsi IFRS yang akan mulai berlaku 1 Januari 2012
Sumber :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar