Artikel GCG, CSR dan IFRS
·
Artikel Good Corporare Governance (GCG)
Survei GCG Mendorong Perusahaan Meningkatkan Praktik
Corporate Governance
Posted on December 19, 2011
by mada
Untuk
yang ke-9 kalinya SWA bekerja sama dengan The Indonesian Institute for
Corporate Governance (IICG) menggelar survei Corporate Governance Perception
Index (CGPI). Tahun ini sigi tersebut mengangkat tema “GCG dalam Perspektif
Etika”.
Bagaimana
tanggapan pakar terhadap hasil survei yang dilakukan IICG terhadap penerapan
Good Corporate Governance di beberapa perusahaan di Indonesia, akan disajikan
dalam petikan wawancara berikut ini dengan Saguh Pangaribowo, Senior Manager
Advisory Services Ernst & Young.
Apa
pelajaran menarik yang bisa diambil dari fakta survei itu?
Dengan
adanya survei tahunan ini, salah satu manfaatnya adalah dapat memotivasi
perusahaan-perusahaan yang disurvei untuk meningkatkan praktik corporate
governance ke arah yang lebih baik. Jika dibandingkan tahun lalu, tahun ini
terdapat beberapa perusahaan yang skornya meningkat. Hal lain yang menarik
adalah di samping terdapat peserta baru, ada juga peserta tahun lalu yang tidak
berpartisipasi lagi di tahun ini. Mungkin sebaiknya dicari tahu mengapa peserta
tersebut tidak ikut berpartisipasi.
Bagaimana
pendapat Anda tentang survei ini?
Survei
corporate governance ini merupakan salah satu sarana untuk mengetahui kondisi
corporate governance suatu perusahaan dibandingkan secara relatif dengan perusahaan
lainnya. Survei ini dapat menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang ingin
mengetahui gambaran umum praktik CG berdasarkan standar kriteria tertentu. Akan
lebih baik, di samping berpartisipasi pada survei ini, perusahaan juga
menggunakan sarana evaluasi CG lainnya, mengingat masing-masing perusahaan
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, misalnya ada yang highly regulated,
ada yang dual atau multiple listing, ada yang dimiliki oleh satu atau lebih
shareholder asing yang lebih familiar dengan single-tier governance system
dibandingkan dengan two-tier governance system. Dengan demikian, diharapkan
dapat teridentifikasi areas for improvement dan solusi yang lebih spesifik
untuk mencapai kondisi GCG.
Apa
saja kelemahannya? Lalu, seperti apa mustinya survey GCG yang baik itu?
Disebutkan
bahwa penilaian meliputi 13 aspek yaitu komitmen,transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi, keadilan, kompetensi, kepemimpinan, kemampuan
bekerja sama, visi misi & tata nilai, strategi kebijakan, etika, dan iklim
etikal. Tentunya pengguna hasil survei ini bisa saja berharap ada informasi
lebih lanjut mengenai skor untuk tiap-tiap aspek tersebut dari perusahaan yang
dinilai, namun ternyata bobot dan pemberian nilai menggunakan kriteria lainnya:
yaitu self assessment, kelengkapan dokumen, paparan makalah dan observasi.
Agar
konsisten, sebaiknya pembagian kategori skor penilaiannya mengikuti ke 13 aspek
di atas. Jika ini bisa dilakukan, maka simpulan akhirnya pun akan lebih
berhubungan dan relevan dengan konsep corporate governance, dibandingkan dengan
4 kriteria yang disebutkan terakhir.
Di
samping itu, survei CG ini sebaiknya juga dapat menyoroti dan memotret hal-hal
tertentu yang lebih konkrit seperti ada tidaknya Komite-komite Komisaris yang
dibentuk dan tetap dipertahankan meskipun tidak wajib dan mungkin saja tidak
diperlukan untuk ada setiap tahunnya. Termasuk proses pemilihan dan masa tugas
dari anggota komite tersebut.
Sebenarnya
bagaimana praktek etika GCG di perusahaan-perusahaan Indonesia? Biasanya contoh
pelanggaran dalam hal apa?
Perlu observasi yang lebih
komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui praktik etika
bisnis di perusahaan-perusahaan di Indonesia dan contoh-contoh pelanggarannya,
namun demikian berdasarkan pengalaman melakukan assessment dan asistensi CG,
agar tercipta pengelolaan perusahaan yang beretika sesuai konsep GCG, maka
perlu adanya desain / rancangan dan implementasi operasional yang efektif untuk
hal-hal yang terkait dengan etika perusahaan. Dari sisi desain, perusahaan
dapat membangunnya melalui hal-hal berikut:
Penyusunan pedoman etika (istilah
yang sering digunakan adalah code of conduct atau code of ethics).
Penyusunan kebijakan dan prosedur
sebagai penjabaran lebih lanjut dari pedoman etika perusahaan.
Penyusunan whistle blower program.
Penyusunan whistle blower program.
Sedangkan dari sisi operasionalnya,
hal-hal yang sebaiknya dilakukan adalah:
Direksi dan Komisaris memberikan
“tone at the top” dan “lead by example” kepada seluruh karyawan mengenai
pentingnya menjalankan bisnis yang beretika. Menciptakan mekanisme tahunan
penandatangan pernyataan telah memahami isi dan akan mematuhi code of conduct
dari setiap insan perusahaan. Terdapat mekanisme audit untuk memonitor
kepatuhan terhadap code of conduct. Termasuk menindaklanjuti/menginvestigasi pengaduan
yang disampaikan melalui whistle blower program.
Apa
yang sebaiknya dilakukan perusahaan Indonesia untuk meningkatkan level kualitas
GCG-nya?
Sebelum
menjawab pertanyaan ini, sepertinya perlu diluruskan dulu pertanyaannya. Sebaiknya
pertanyaannya adalah bagaimana meningkatkan kualitas CG (tanpa huruf G di
depan), karena jika sudah ada huruf G di depannya, artinya sudah “Good”, jadi
by definition, seharusnya tidak perlu lagi ditingkatkan kualitasnya. Di luar
negeri, istilah yang digunakan dalam konteks pedoman dan evaluasi/survei adalah
pedoman CG (seperti code of CG atau CG Guideline) dan evaluasi/survei CG. Jadi
bukan pedoman GCG atau evaluasi GCG.
Kembali
ke pertanyaannya, yaitu bagaimana meningkatkan kualitas CG perusahaan-perusahaan
di Indonesia, pendapat saya adalah dikembalikan kepada siapa sebenarnya yang
paling dapat mempengaruhi praktik CG itu sendiri di dalam perusahaan, yaitu
tidak lain adalah ketiga organ CG yaitu Pemegang Saham (melalui mekanisme
RUPS), Dewan Komisaris dan Direksi. Harus ada interaksi yang efektif di antara
ketiga organ ini. Direksi merumuskan strategi; membahasnya dengan Dewan
Komisaris, dan melaksanakannya; kemudian membangun pengendalian internal yang
efektif untuk mencapai tujuan operasional, kepatuhan dan kehandalan pelaporan
keuangan; menjaga tata nilai, budaya peduli terhadap kinerja, manajemen risiko,
pengendalian internal dan etika perusahaan. Dewan Komisaris kemudian secara
periodik menjalankan fungsi oversight dan pemberian advice terhadap hal-hal
yang dilakukan dan akan dilakukan Direksi. Agar kualitas CG meningkat,
sebaiknya secara periodik tedapat mekanisme evaluasi praktik CG yang dijalankan
perusahaan, secara self assessment maupun dibantu pihak eksternal, dengan
penekanan pada faktor-faktor kualitatif. Kemudian menindaklanjuti hasil dari
assessment tersebut. (EVA)
Sumber :
·
Artikel Corporate Social
Responsibility (CSR)
CSR Tidak Sekadar Charity,
TBIG Raih Sabre Awards 2012
Posted on September 29, 2012 by Eva
Martha Rahayu
PT
Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) meraih penghargaan Gold di ajang
insan Public Relations Asia Pacific, Sabre Awards 2012 di Hong Kong.
Apresiasi ini untuk kategori Telecommunications Corporate Social
Responsibility (CSR) pada sektor industri telekomunikasi melalui program
CSR TBIG di bidang pendidikan, yakni “Aku Bisa” (“I Can”). Penghargaan
diterima oleh Dandan Hamdani,PR Consultant dari QYVision PR, partner dalam
pelaksanaan program komunikasi TBIG.
TBIG
berhasil mengalahkan dua minasi kategori CSR sektor telekomunikasi lainnya
se-Asia Pasifik, yakni China Mobile yang menggandeng PR Consultant
Hoffman PR Worldwide dan SmarTone Hong Kong dengan Ogilvy Worldwide. TBIG
bersama dengan PR Consultant-nya Qyvision PR dari Indonesia.
Penilaian
ajang Sabre Awards 2012 ini meliputi aspek-aspek seperti keunikan program,
rencana kerja yang tepat sasaran dan kesesuaian dengan target audience,
implementasi program, publikasi di media massa maupun sosial media, serta
dampak dari program tersebut terhadap masyarakat.
Herman
Setya Budi, Presiden Direktur TBIG, mengatakan, penghargaan ini merupakan
langkah awal serta menjadi motivasi untuk terus berupaya
mengimplementasikan program CSR yang sustainable dan berdampak kepada
masyarakat secara lebih variatif dan menjangkau wilayah-wilayah di Indonesia
yang memang membutuhkan. “Ini adalah bagian dari komitmen TBIG dalam upaya
berkontribusi membangun kualitas hidup masyarakat yang lebih baik,” tegasya.
Wiyanna,
Corporate Communications TBIG, menambahkan, penghargaan ini merupakan tantangan
besar, karena TBIG harus bisa mempertahankan dan meningkatkan apa yang sudah
dicapai melalui program-program pendidikan yang lebih baik dan berdampak
signifikan bagi masyarakat serta dapat membantu pemerintah dalam mencerdaskan
kehidupan anak bangsa.
“Program
komunikasi CSR TBIG dinilai unik karena program CSR yang dilakukan tidak
sekadar charity namun merupakan program yang berkelanjutan sehingga
mampu memberikan dampak serta motivasi kepada anak-anak jalanan agar bisa
mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan melalui Rumah Belajar TBIG
dan buku Aku Bisa,” tambah Dandan Hamdani, Business Development Director
Qyvision PR.
Asia-Pacific
Sabre Awards merupakan ajang kompetisi program-program public relations
se-Asia Pasifik yang dilakukan oleh suatu perusahaan bersama konsultan hubungan
masyarakat untuk dipilih program kampanye public relations
terbaik di dunia. Ajang ini dikuti oleh 1,200 PR program terbaik di seluruh
negara di Asia Pasifik termasuk Cina, India, Jepang, New Zealand/Australia.
Negara-negara yang masuk nominasi ini adalah Indonesia, Singapura, Hong Kong,
Cina, New Zealand, Australia, India, Jepang, Filipina, Malaysia dan
Thailand. Sedangkan perusahaan yang masuk nominasi sebanyak 160
perusahaan dan 75 agensi PR, baik independen maupun perusahaan PR multinasional
di seluruh kawasan Asia Pasifik.
Sumber :
·
Artikel International Financial Reporting
Standards (IFRS)
Perusahaan Indonesia Diminta
Standarisasi Laporan Keuangan Internasional
Posted on June 22, 2010
by Army Meidinasari
Perusahaan
di Indonesia diharapkan dapat segera menerapkan standar internasional pelaporan
keuangan (International Financial Reporting Standards/IFRS). Dengan demikian,
Indonesia akan mendapatkan manfaat dari meningkatnya kredibilitas pasar modal
di mata investor global.
Menurut
anggota Dewan Standar Akutansi Internasional (International Accounting
Standards Board/IASB), Patrick Finnegan, dengan mengimplementasikan IFRS
perusahaan akan menikmati biaya modal yang lebih rendah, konsolidasi yang lebih
mudah dan sistem teknologi informasi yang terpadu.
IASB
sendiri merupakan lembaga penentu standar sebagai bagian dari Yayasan Komite
Standar Akuntansi Internasional (International Accounting Standards
Committee/IASC Foundation). Lembaga ini bertanggung jawab untuk mengembangkan
standar pelaporan keuangan internasional.
Anggota
Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Endang P Sulaksono pun mengungkapkan, karena
adanya perubahan mendasar dalam konvergensi ke IFRS, maka perlu suatu panduan
bagi perusahaan dalam melakukan penyelarasan standar ini. “Untuk itu, perlu ada
pembicaraan bersama antara Asosiasi, IAI dan Regulator,” ujarnya hari ini
(22/6) di Jakarta.
Ia
pun menambahkan bahwa dengan adanya konvergensi IFRS ini diharapkan akan
terjadi peningkatan kegiatan investasi secara global. Selain itu, dapat
menurunkan biaya modal dengan membuka peluang melalui pasar modal secara
global. “Tentunya juga menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan dan
peningkatan transparansi perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan,”
imbuhnya.
Rencana
mengadopsi IFRS ini sejalan dengan gerakan global oleh lebih dari 100
negara-negara di dunia yang mulai mengimplementasikan IFRS dan menggunakan satu
‘bahasa akuntansi’ di dunia. Pada Desember 2008, IAI secara resmi mengumumkan
rencana Indonesia untuk merevisi Pernyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK)
dengan mengadopsi IFRS yang akan mulai berlaku 1 Januari 2012
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar